Selasa, 17 November 2020

KURIPAI

 


KURIPAI

Dulunya untuk tempat misiu atau peluru senapan. Bentuknya biasa lingkaran dan oval.   Kuripai terbuat dari kulit  kayu mamiah. Warnanya merah dan dicat dengan getah kayu juga yaitu Samak yg membuat Kuripai ini bewarna hitam. Kuripai sendiri dari bahasa dayak Bisomu dari kecamatan Kembayan dan Noyan Kabupaten Sanggau.


Kuripai ini sangat unik dari bahannya yang alami dan pada jaman sekarang bisa di pergunakan untuk tempat pulpen dan lainnya. Tampilan yg alami inilah menjadikan kuripai menjadi unik pada saat sekarang jika dilihat juga dari proses pembuatannya dan tidak semua orang tau cara membuatnya.




@Alfeus Krispinus

Jumat, 05 Juni 2020

Anak Padi "Suriakng"

Beras Suriakng

(Anak Padi)



K

egiatan bertani khususnya tanaman padi bagi masyarakat Kalimantan dan khususnya masyarakat di Kecamatan Toho dan Sadaniang Kabupaten Mempawah sudah berkembang. dengan perkembangan ini, masih melakukan kearifan lokal dalam mengelola paska panen padi. Kearifan lokal itu berupa merawat batang padi yang sudah panen untuk mendapatkan padi dan bisa panen kembali. Perawatan ini tidak begitu rumit dan cendrung mudah hanya pengamatan batang padi mana yang akan berbuah lagi sedikit perhatian, ya begitulah kata beberapa petani.


Cara ini dalam bahasa lokal atau bahasa dayak Kanayatn disebut beras Suriakng. Mengenai penyebutan suriakng sendiri ada yang menyebutnya Lapisatn yang artiannya padi yang berbuah kembali sesudah di panen. Beras suriakng ini lebih cendrung dikonsumsi untuk keluarga karena tidak ada perlakuan pemupukan dan penyemprotan bahan anti hama, penyakit tanaman dan pupuk.

Masyarakat sebagai petani, beras yang alami ini mereka pakai untuk membuat emping beras dan dijadikan olahan pangan yang berupa makan ringan berupa kue-kue emping dan lebih mudahnya pada jaman sekarang di konsumsi bersamaan susu bubuk, menurut penuturan ibu-ibu di kampung yang sering memanen padi suriakng.

Suriakng yang dalam artianya anak padi yang bersemi dan tumbuh kembali. Teringat arti kata tumbuh kembali dalam bahasa Dayak Kanadayatn sering saya dengar, adalah “Basule”, Bersemi kembali dan di panen dengan suka cita.

Metode untuk mendapatkan padi suriakng ini bagi petani yang bersawah waktu panen pertama hanya dipotong pas batang padi yang berbuah atau potong leher, versi petani. Bagi petani berladang sudah pasti akan mendapatkan kembali padi curiakng ini karena panen mengunakan cara mengetam atau di ambil bagian tangkai padi saja.

Semua jenis maupun varietas apa saja akan disebut padi suriakng dan jika dipanen kembali  hasilnya tidak sama banyak bisa sekitar  80-90 % penyusutannya dari panen pertama atau 2 banding 10. Dari hasilnya yang tidak begitu banyak tetapi petani sebagian orang menantinya sebagai panen akhir sebelum lahan di olah kembali untuk penanaman berikutnya.

Jika di pahami ternyata masyarakat yang berladang juga bisa di katakan panen 2 kali setahun selain dari kearifan lokal berladang yang didalam kawasannya ada tanaman lain-lain seperti ubi, terung asam dan lainnya prinsifnya sebagai pemanfaatan yang maksimal dalam bertani. Suriakng yang berumur sekitar 2 bulan sudah siap dipanen dan inilah tambahan dari kegiatan bertanam padi dan nilai suatu budaya yang patut diketahui untuk anak cucu.

Sekarang di pertanian modern sudah ada juga melakukan pemanfaat batang padi yang  sudah di penen di rawat kembali selayaknya menanam padi pada awalnya tanam. Perawatan dilakukan dengan pemupukan kembali untuk menyehatkan batang padi yang masih di tanah. Nah padi suriakng ini bagi kita  sekalian apakah masih bisa dan layakkah di kembangkan ? dalam masa pertanian modern saat ini. 

Semoga tulisan ini masih bisa di lanjutkan dengan dengan kajian yang kuat dan maaf kekurangan dalam tulisan kurang dokumentasi karena cukup sulit mendapatkan momen panen padi suriakng dan perlu teknik dalam pengambilan fhoto. Secara kasat mata padi surikng sama dengan padi sebelum panen sama hanya ketinggian batang padi saya yang beda.



 Teks : Alfeus Krispinus

Rabu, 20 Mei 2020

Bergotong Royong Versi Masyarakat Dayak


 Bergotong Royong

Versi Masyarakat Dayak

Kalimantan Barat 




B
ersama-sama menyelesaikan suatu pekerjaan bagi masyarakat Dayak sudah sejak lama di lakukan. Bergotong royong istilah sekarang yang sering kita lakukan dari tingkat desa hingga masyarakat yang di kota. Secara umum praktek gotong royong ini sama bagi kebanyakan masyarakat dayak yang dulunya hanya di dilakukan untuk penyelesaikan pekerjaan di peladangan.

Sumber tulisan  ini walupun masih sedikit setidaknya bermakna bagi saya untuk mendokumentasikan praktek gotong royong versi masyarakat dayak ini di Kalimantan Barat khususnya Dayak Kanayatn, Dayak Tamambaloh, Dayak Iban di Kapuas hulu dan dayak di Kalimantan Barat pada umumnya. Keberagaman istilah dan bahasa tetapi memiliki prinsip kerja yang sama saling bantu antar anggota masyarakat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

Dalam basa Dayak Kanayatn bergotong royong adalah “ Balale’ “, dalam bahasa Dayak Tamambaloh “Situlis“, bahasa Dayak Iban di Lanjak Kapuas Hulu “Bedurok” dan bahasa Dayak Kayong “Sambayan”, berikut list istilah dalam beberapa bahasa dayak di Kalimantan Barat :

No
Bahasa
Bahasa Dayak
1.
Balale’
Bahasa Dayak Kanyatn
2.
Sambayan
Bahasa Dayak Pesaguan, dayak Kayong dan Dayak Gerunggang_Ketapang
3.
Situlis
Bahasa Dayak Tamambaloh_Kapuas Hulu
4.
Bedurok
Bahasa Dayak Iban_Kapuas Hulu
5.
Odi/Pangaris
Bahasa Dayak Kualan_Simpang Hulu_Ketapang
Tabel dalam bahasa dayak di Kalbar
(Sumber : hasil obrolan dengan masyarakat sewaktu berkunjung
 di daerah dan hasil info teman-teman)


Gotong royong ini sering dilakukan dalam proses dan pekerjaan pertanian. Dulu banyak masyarakat dayak berladang. Semangat  ini lah yang menjadi kekuatan petani yang berlandaskan kearifan lokal. Budaya yang sudah ada dari nenek moyang dayak  ini terus menjadi pola kerjasama yang berkembang dari kelompok kecil hingga kelompok besar. Bergotong royong biasa mulai dari kegiatan persiapan lahan, hingga panen. Sekarang berkembang tidak hanya pada momen-momen berladang saja tetapi juga sudah di pergunakan  untuk bersawah di masyarakat Dayak Kanayatn di Kecamatan Toho dan sekitar dengan tradisi Balale’ mereka dapat menyelesaikan pekerjaan bersawah lebih ringan dan cepat.

Foto : Olah lahan dan tanam padi bersama-sama disawah
(Lokasi Desa Sekabuk_Kabupaten Mepawah_Kalbar)


Dari semua bahasa dayak dalam bergotong royong memiliki prinsip yang sama untuk saling bantu dalam pekerjaan antar anggota masyarakat di kampung. Gotong royong ini secara partisipatif melalui kesepakatan lisan dan terjadual serta di ingat oleh semua anggota gotong royong. Sambil bekerja biasanya anggota gotong royong saling bersenda gurau dan bincang-bincang santai. Senda gurau dan obrolan santai ini jika di maknai sebagai proses untuk saling mengingatkan jadual atau giliran besok dan besok harinya membantu diladang maupun sawah siapa. Praktek baik ini terencana sederhana tapi berjalan baik dan secara aktif mereka hadir. Iklas dan senang itu yang terpancar dari raut wajah para anggota gotong royong, padahal mereka rasanya bekerja terus dari hari kehari baik itu kelompok gotong besar hingga kecil.

Foto : bersama menunggal di ladang
(Lokasi : Masyarakat di Dusun Ganti Desa Sungai Ajung_Kapuas Hulu)



Budaya bijak ini patutlah di lestarikan yang dulunya identik untuk berladang, balale’ atau Situlis atau lainnya dalam bahasa dayak lainnya tujunnya mulia untuk meringankan kerjaan anggota keluarga atau masyarakat di kampung untuk mendapatkan hasil pertanian atau ladang lebih baik. Setidaknya menjadi alasan mengapa saya menulis ini sebagai bentuk informasi yang turun menurut bahwa gotong royong bagian dari keseharian dan budaya kita. Menjadi bentuk berkembangnya jaman bahwa kegiatan bersama berladang dulunya sekarang di terapkan di berbagai bidang kerjaan masyarakat.

Kecamatan Toho dan sadaniang yang sebagian besar bersawah memakai sistem kerja balale’ ini. Hampir dari awal persiapan lahan sawah, tanam, merumput hingga panen mereka gotong royongkan. Dengan cara ini terbukti hasil kerja ini cepat dan banyak hasilnya, sehingga ada kelompok-kelompok kecil lagi yang memiliki nama, seperti aleatn harian, aleatn minggu dan aleatn bulanan. Semangat inilah yang kiranya tarus ada dengan tujuan selain meringakan kerjaan, ada proses komunikasi dan transfer pengetahuan dalam bidang pertanian.


Foto : kelompok Balale’ menanam di sawah desa Sambora dan Benuang
Kecamatan Toho_Kalimantan Barat


Pada kesempatan dan di kemudian hari semoga dapat diperkaya tulisan saya ini dengan berbagai versi bahasa daya lain-lainnya. Tulisan kali ini semoga banyak menjadi informasi dan  intinya sebagai penyemangat bagi saya untuk terus menerus menulis kalimat demi kalimat pendek, menjadi bermanfaat  bagi orang lain. 


Foto : Bersama-sama bertanam sayuran di kebun
(Lokasi : Desa Sungai Ajung_Kapuas Hulu)


Teks & Fhoto : Alfeus Krispinus

Selasa, 05 Mei 2020

Rebung Kering



Rebung Kering

S
iapa yang tak kenal makan satu ini, yaitu rebung. Rebung sendiri merupakan anakan atau tunas mudah dari bambu yang akan tumbuh. Karena tanaman bambu  habitatnya banyak di kampung-kampung jadi cukup mudah melihat tanaman satu ini dan sambil memanennya bersama masyarakat di kampung secara berkelompok. Mengapa lebih sering orang-orang berkelompok mencarinya?, selain dari rasa kebersamaan dan keamanan pastinya semangat dalam kegembiraan panen rebung bersama.


Berkelompok mencari rebung

Semua kalangan sering mencari rebung, baik itu ibu-ibu maupun bapak-bapak bahkan biasa juga anak-anak ikut mencari bersama orang tuanya. Menurut penuturan mereka rebung tumbuh di musim penghujan. Biasanya musim penghujan di bulan Nopember hingga Januari kemudian juga Agustus dan September juga. Tapi pada masa-masa sekarang musim hujan kadang dibulan lain juga, tak tahulah kata mereka,,, apakah ini yang di katakan perubahan iklim, pikirku. Lewatkan dululah tentang perubahan iklim, nanti kita bahas dalam tulisan berikutnya.

Panganan dari rebung yang berbagai jenis bambu yang jenisnya cukup banyak. Setidaknya ada 5 jenis biasa di konsumsi dari penuturan beberapa orang yang saya tanyai, seperti ;
1. Bambu atau rebung Betung ( Dendrocalamus Asper)
2. Bambu atau rebung Munti (Schizostzchyum sp )
3. Bambu atau rebung Tarekng
4. Bambu atau rebung Sompekng
5. Bambu atau rebung Garekng

Nama bambu yang di ambil rebungnya ini lebih banyak di dapat dalam persi bahasa Dayak Kanayatn yang tersebar di Kabupaten Landak, Mempawah, Bengkayang dan Kabupaten Kubu Raya.

Dari berbagai jenis ini menurut mereka yang melakukan dari panen hingga memasak dan mengkonsumsinya beragam juga rasanya. Rasanya ada yang manis, ada yang rasanya agak kepahit-pahitan dan lain sebagainya. Nah dari rasa dan  jenis yang mana bambunya, dalam tulisan saya ini belum bisa menyampaikan secara spesifik karena berkenaan dengan penelitian maupun pengamatan khusus yang belum bisa dilakukan.

Cerita rebung ini tidak hanya pada jenis dan rebung sebagai salah satu makanan masyarakat lokal. Lebih dari itu saya akan mengali dari rebung menjadi rebung kering.  Rebung kering merupakan pengembangan produk pangan dari sisi pengetahuan lokal  di Kalimantan Barat. Rebung ini di sebagian wilayah di Kalbar biasa dijadikan rebung kering. Rebung basah yang biasa setelah dipanen langsung diolah dimasak dan dikonsumsi selain dari itu juga dijadikan rebung kering. Penuturan orang-orang awalnya dapat cerita dari para pencari rebung, mengapa dijadikan rebung kering yaitu sebagai salah satu pengawetan rebung supaya bisa di masak di kemudian hari atau waktu nanti, karena pada musimnya biasa rebung banyak tumbuh jadi perlu disimpan dengan cara dikeringkan.

Rebung basah diiris-iris dan kemudian di rebus

Rebung kering merupakan salah satu sayur yang biasa dihidangkan pada waktu bergotong royong seperti bersama-sama orang banyak mengarap sawah, tanam padi dan hingga panen bersama. Pada musim rebung banyak orang-orang mencari rebung sebanyak mungkin dan kemudian di keringkan untuk stok sayuran dalam kegiatan-kegiatan bersama khususnya di ladang dan bersawah.

Rebung basah yang sudah diris-iris, 
direbus dan kemudian di jemur


Proses pembuatan rebung kering ini tidak rumit dengan mengiris-iris, rebus dan jemur di bawah terik matahari sekitar 1-3 hari dengan rendemen sekitar 50 % sampai 60 %.  Proses rebung kering ini merupakan kearifan lokal masyarakat yang turun temurun dilakukan sebagai pengawetan rebung untuk mempersiapkan stok sayur jika mengundang orang banyak dalam masa bertani. Hingga berjalannnya waktu rebung kering juga menjadi hidangan dalam pesta-pesta dan menjadi kegemaran banyak orang selain dari cara masaknya yang dijamin maknyoss rasanya.

Rebung kering yang sudah jadi

Dari rasanya yang khas, rebung kering ini sebagai  produk turunan dari bambu muda yang dipanen disebut rebung, berupa rebung basah di olah manjadi masakan. Terlepas dari itu sewaktu beberapa kali mengikuti panen rebung dimana orang-orang dikampung sudah tahu di mana lokasi-lokasi rebung yang biasa mereka cari. Lokasi yang terpencar-pencar atau spot-spot tetapi mereka mengetahui lokasi mana yang rebungnya sudah banyak lagi karena berdasarkan ingatan waktu-waktu sebelumnya sudah panen di lokasi-lokasi dan bisa diulang dalam 3 sampai 5 hari kemudian.

Pengetahuan lokal ini merupakan pengetahuan yang tidak tertulis tetapi secara lisan juga tersampaikan kebeberapa anggota masyarakat. Sisi dari lingkungan saya melihat pemanenan rebung ini merupakan proses penjarangan tanaman bambu dan sekalian perawatan lokasi dan tanaman bambu yang banyak. Dengan rebung di panen akan tumbuh lagi anakan atau rebung kembali karena cuaca yang mendukung dan di rerimbunan tanaman bambu. Selain itu menjadi pengetahuan dan untuk mengenali lingkungan mereka seperti kawasan tanaman bambu baik secara konturnya, jenis bambu dan kapasitas rebung yang bisa dipanen walaupun secara menduga-duga.

Semoga kawasan-kawasan bambu ini terus tetap ada dan sumber sayur masyarakat tetap ada dan pengetahuan pembuatan rebung kering bisa diturunkan ke anak cucu dan generasi penerus. Keberlanjutan rebung kering ini menjadi produk komunitas desa yang kiranya saling mendukung antara jumlah produksi di tingkat komunitas yang memiliki ketergantungan alam yang kuat dan keinginan pasar yang keduannya pasti manjadi tantangan jika berbicara pasar rebung kering.

Tulisan santai, kaku dan sedehana ini kirannya bisa penulis kembangkan lagi menjadi sebuah kajian yang terukur, dan memiliki bukti-bukti fisik yang menjadi menarik, bagi pembaca dan semua kalangan yang ingin tahu tentang rebung kering ini. Inti dari tulisan ini ingin mengajak semua orang mulai dari komunitas lokal memahami produk lokal mereka memiliki nilai bagi orang lain. Kemudian penikmat pangan lokal ini mengetahui juga asal usulnya dan keterkaitan dengan masyarakat lokal dan lingkungan.




Teks & Photo : Alfeus Krispinus